Kekerasan Mendasari Budaya Media Kita
- Himakom Upnvjatim

- 31 Jul 2018
- 1 menit membaca

Etika komunikasi seakan tak berdaya menghadapi maraknya kekerasan dalam media. Pornografi, kekerasan naratif, agresivitas, kekerasan virtual, kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang manipulatif merajalela tanpa ada struktur kuat yang melawannya. Bahkan kekuatan moral, termasuk agama, seperti kehabisan akal untuk menangkalnya.
Kekerasan bisa didefinisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan. Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam berbagai bentuknya seperti, fisik, verbal, moral, psikologis atau melalui gambar.
Khalayak semakin rentan terhadap aparat kekerasan. Distribusi kekerasan tersebut sebenarnya merupakan bentuk dari kekerasan itu sendiri. Khalayak yang sudah tidak asing dengan kekerasan pada akhirnya akan menjadikan kekerasan tersebut sebagai unsur dari budayanya sendiri. Masalah utama ada pada media konvensional adalah bagaimana kekerasan dipresentasikan.
Contohnya sinetron di Indonesia saat ini syarat dengan kekerasan sebagai bumbu manis dalam jalan cerita. Kekerasan yang ditampilkan juga jauh dari realitas kekerasan yang ada. Tokoh-tokoh di sinetron yang melakukan tindakan kekerasan nampak tidak memiliki keraguan untuk melakukan tindakan tersebut. Kekerasan di media menormalisasi tindakan kekerasan, kekerasan yang dianggap sebagai jalan keluar yang sah sah saja untuk dilakukan.
Apa yang terjadi di Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan, budaya kekerasan sudah muncul di permukaan. Cepat dan basisnya distribusi konten-konten di media baru bukan berarti bahwa penyebaran konten kekerasan tidak dapat direduksi. Media media social seperti, facebook, instagram, ataupun twitter memiliki system palaporan yang menjamin penggunanya untuk mendapatkan konten yang sehat.
Lantas menurut commers apakah kekerasan akan terus menjadi budaya di media kita?
*ryd




Komentar