MENGENAL FILSAFAT DAN PENGALAMAN SEBAGAI DASAR SENI MEMAHAMI “Hermeneutik” DI DALAM SUATU CABANG ILM
- Himakom Upnvjatim

- 13 Okt 2018
- 5 menit membaca
Di dalam benak pikiran banyak orang,filsafat adalah ilmu yang mengawang-ngawang. Mengawang bisa berarti terlalu tinggi dan rumit,sehingga tak mudah dicerna oleh orang kebanyakan. Tapi mengawang juga bisa berarti : tidak realistis,konyol,kegiatan orang yang kurang kerjaan. Ketika dunia digerakkan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya,dan popularitas dan kekayaan. Filsafat tampak bagai verbalisme kosong,bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya.Ketika ilmu –pengetahuan empirik dan tekhnologi menghasilkan demikian banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar,filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-dirumitkan.Lebih buruk lagi,dalam situasi penuh antusiasme keagamaan yang meledak –ledak, filsafat biasanya bahkan dilihat sebagai kebebasan nalar yang liar dan “arogan”, semacam ancaman menuju kekacauan,bahaya tafsir bebas mengarah pada kemurtadan,atau bahkan sejenis gejala kegilaan.Dan karenanya,bagi khalayak umum,sebaiknya tidak disarankan.
Dalam suasana konsumerisme yang parah dan gaya hidup heptic,kalaupun filsafat masih tampak berharga,itu hanyalah sebagai paraphernalia untuk dekorasi rumah atau gaya bicara.Adalah bergengsi memajang buku-buku tua plato atau Aristoteles di rak buku. Adalah terpelajar bila kita menyelipkan satu dua kutipan dari omongan para filosof dalam pidato-pidato kita. Demikian,filsafat itu menarik sebagai hiasan,tapi tidak sebagai bahan kajian.Meskipun demikian,semua cerita di atas itu sebetulnya hanyalah “karikatur” tentang makhluk yang bernama ‘filsafat’.Sesungguhnya filsafat tak mesti dilihat seburuk itu.Pada dasarnya filsafat adalah gerak nalar yang wajar,sealamiah bernafas,aliran pikiran yang pada titik tertentu tak bisa di bungkam dan dihentikan.Filsafat adalah sistematisasi pengalaman bernalar dan kecenderungan ingin tahu,yang telah kita miliki sejak masa kanak-kanak.Kecenderungan yang ironisnya sering kali justru menjadi rusak akibat jawaban-jawaban yang berprentensi mutlak dari bermacam bentuk pengetahuan(tradisi,sains,ideology,terutama agama). Filsafat adalah pengalaman yang bergulat hendak merumuskan kerumitan dirinya yang sebenarnya tak terumuskan.Suatu upaya tanpa akhir untuk memahami kenyataan yang mungkin tak akan pernah tuntas terjelaskan.
Ketika dalam millennium ketiga ini tradisi tak lagi menjadi sumber utama pemaknaan atas pengalaman; ketika sistem-sistem nilai dan norma konvensional diharu – biru kontradiksi intern akibat aneka perbedaan tafsiran sehingga sebagai patokan tak lagi meyakinkan,filsafat sebagai pemikiran kritis yang mendalam dan mandiri sangatlah dibutuhkan. Filsafat memampukan kita menyusun sendiri pegangan di antara berbagai informasi dan pendapat yang membingungkan, memampukan kita merumuskan sendiri makna pengalaman.Ketika kini pola-pola baku dan keyakinan-keyakinan umum digugat dan dipertanyakan ulang, filsafat mengasah kepekaan kita atas inti persoalan,yakni kepekaan atas mana hal pokok,mana hal sepele;mana yang layak dibela,mana yang bisa dibiarkan saja. Ketidakmampuan berfikir secara abstrak filosofis mudah mengakibatkan kerancuan-kerancuan berfikir yang menyedihkan dan berbahaya. Berbagai masalah berat di negeri ini umummya muncul karena kerancuan berpikir macam itu: dari sejak urusan kinerja birokrasi yang serba tidak efisien,korupsi,terorisme,konflik agama,kerumitan masalah pendidikan,sampai kekacauan angkutan kota. Filsafat memang terdengar mengawang dan abstrak. Tapi proses abstraksi itu diperlukan untuk menerangi pengalaman dan melihat akar akar dasar tersembuyi di balik segala persoalan konkret.
Meskipun filsafat adalah kegiatan olah nalar,yang sebenarnya digumuli disana adalah kebutuhan terdalam ruh dalam dinamika jatuh bangunnya pengalaman: kebutuhan mendasar atas makna dan arah kehidupan,kebutuhan tentang bagaimana misteri-misteri kehidupan bisa dijelaskan dan dipahami, kebutuhan untuk mengerti apa yang sesungguhnya diinginkan oleh kekuasaan dan kedudukan,bukan oleh sukses karier spektakuler atau popularitas bahkan bukan juga oleh doktrin agama,melainkan oleh rasa penasaran,petualangan pencarian, keharuan, keheranan, atau kekaguman, yang sering demikian misterius. Dalam kerangka itulah,pemikiran-pemikiran filososfis yang abstrak dan pelik dapat menjadi perangsang bagus yang membimbing kita ke dasar ketuhan batin itu.Sehingga filsafat masuk didalam Seni Memahami yang mengacu pada hasil yaitu sesuatu yang telah ditangkap,sedangkan memahami mengacu pada proses,yaitu kegiatan menangkap,maka pemakaian kata kerja akan lebih memadai untuk melukiskan dinamika itu daripada pemakaian kata benda. Begitulah istilah memahami dalam hermeneutik mengacu pada proses menangkap makna dalam Bahasa atau, dikatakan lebih luas, yang menjadi target pemahaman adalah struktur-struktur symbol atau teks. Di dalam kehidupan sehari-hari kita berbicara dengan orang lain.Memahami adalah proses menangkap maksud atau makna kata-kata yang diucapkan oleh komunikator.Obyek memahami tidak lain daripada Bahasa,tetapi Bahasa tidak dapat dilepaskan dari pikiran penuturnya. Perlu ditambahkan bahwa manusia tidak berpikir tentang hal yang sama,meski memakai kata yang sama.
Karena itu kita perlu membedakan dua hal,yaitu antara “memahami apa yang dikatakan dalam konteks Bahasa dengan kemungkinan-kemungkinannya” dan “memahami (apa yang dikatakan itu) sebagai sebuah fakta di dalam pemikiran si komunikatornya”. Kedua hal itu senjang satu sama lain. Kita lalu dapat mengatakan bahwa dalam percakapan kerap terjadi kesenjangan antara teks dan maksudnya, antara kata dan maknanya,dan anatara symbol dan acuannya. Bila tidak ada kesenjangan seperti itu tentu tidak akan terjadi kesalapahaman,melainkan saling pemahaman. Dikatakan sebaliknya,proses pemahaman didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan tersebut.Apakah kesenjangan itu sungguh dapat diatasi atau tidak adalah soal lain yang nanti masih harus kita bahas.
Kiita perlu membedakan dua macam memahami, yaitu memahami secara spontan dan memahami dengan upaya. Didalam kehidupan sehari-hari kita berbicara satu sama lain tanpa masalah karena bertolak dari suatu pemahaman bersama yang tidak problematis. Orang dari satu keluarga, anggota kerabat atau teman kuliah satu kelas dengan mudah saling memahami karena kosakata percakapan dan praktik-praktik merekan bergerak di dalam wilayah saling memahami bersama. Mereka dapat memahami apa yang dikatakan atau dilakukan yang lain secara spontan. Dalam keseharian yang utama adalah pemahaman, sedangkan ketidaksepahaman adalah perkecualian. Hermeneutik lalu dibutukan ,bila terjadi kesalahpahaman.
Nah belajar memahami filsafat membuat kemampuan reflektif kita senantiasa berdenyut. Segala hal akan digugat dan digugat ulang oleh refleksi kita sendiri.Refleksivitas memang bersifat self-cancelling alias gemar membatalkan peryataan- peryataan yang pernah dibuatnya sendiri .Itu sebabnya seribu pakar filosof memberi seribu jawaban atas pertayaan dasar hidup yang sama.Jawaban yang satu membantai jawaban dari filosof sebelumnya. Maka berada dalam alam filosofis lain membuat hidup kita “nomadik”, tak pernah mantap stabil,bergerak terus mencari,. Mungkin tak akan pernah final, hanya saja pemahaman kita makin kaya,makin kompleks, dan makin luas. Dan dengan itu etika makin halus dan arif, terutama dalam menyikapi kehidupan yang penuh perbedaan dan pelik ini. Maka berfilsafat adalah bermain menjajaki berbagai kemungkinan untuk memahami pengalaman dan kehidupan. Dan dalam kenyataan memang selalu ada begitu banyak cara dan kemungkinan. Ukuran bagi kebenarannya hanyalah : argumentasinya lebih mendalam dibanding argumentasi lainnya, atau daya penjelasannya lebih besar , alias lebih mampu menjelaskan kompleksitas suatu masalah, ketimbang paham lainnya.
Pada akhirnya,di dalam dunia filsafat, kita nyaris tak bisa menyebut pikiran seorang filosof sebagai total”benar” atau “salah”. Maka filosof setua Plato ataupun Aristoteles pun dalam dunia filsafat tak pernah merasa kadaluarsa. Semua filosof selalu terasa up to date. Dan semua filosof besar mempunyai otoritas yang dikagumi,dunia filsafat pada dasarnya tidak melihat kebenaran berdasarkan otoritas. Patokannya hanyalah akal sehat dan pengalaman manusiawi yang konkret.Maka lebih tepat dikatakan bahwa dalam filsafat “kebenaran” adalah sekadar batas penalaran kita , batas sementara,batas yang nyatanya bergerak terus memperluas diri juga. Bagai langit batas lautan,yang senantiasa mundur bergerak menjauh saat kita mulai berlayar.
Belajar filsafat menuntut kita berani dan tekun memasuki rimba peristilahan yang tak lazim serta memaksa kita mengikuti penalaran –penalaran sangat panjang dan pelik melelahkan. Maksudnya dibutuhkannya penalaran sangat panjang dalam pemikiran.Kalau tubuh perlu olahraga agar tetap bugar,kehidupan batin(nalar dan ruh) juga perlu latihan agar tetap waras, dan tumbuh ke tingkat lebih tinggi.Filsafat adalah cara cerdas bagi jiwa untuk tetap waras dan tumbuh berevolusi.Terutama ketika dunia makin sakit dan sistem nilai kian terdegradasi . (ru)
Referensi buku :
Jostein Gaarder, Dr.Bambang Suhiharto. 2015. Dunia Sophie, Novel filsafat. Edisi Gold. Bandung: PT Mizan Pustaka.
F.Budi Hardiman. 2015.Seni Memahami (Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida), Buku filsafat. Cetakan ke 9. Depok: PT KANISIUS.






Intinya adalah keuntungan belajar filsafat dan atau punya pengalaman lebih akan membantu memahami suatu ilmu.
Bang Haru, apabila memposting tolong disesuaikan dengan kbbi baik secara bahasa maupun hermeneutikanya. Apabila di kbbi terbatas maka diberi kamus kecil atau dijelaskan langsung setelah katanya.