RAMBUT GONDRONG TERKAIT KEBIJAKAN KAMPUS
- Himakom Upnvjatim
- 23 Mar 2018
- 1 menit membaca

"Manusia adalah individu-individu yang dikutuk untuk bebas," setidaknya begitulah kutipan singkat dalam sebuah novel berjudul Dunia Shopie ini. Hakikatnya, manusia adalah makhluk bebesas yang ingin mendapatkan pengakuan dan diakui sekelilingnya. Melalui rambut, seseorang bisa menjelaskan dirinya, seperti apa dia, sehingga perlu diakui bahwa mereka adalah diri mereka yang sesungguhnya.
Rambut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja panjangnya sampai menyentuh bahunya, sebagaimana dalam banyak hadits, seperti:
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ يَقُوْلُ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِيْ لِمَّةٍ أَحْسَنَ مِنْهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut) Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Rambut merupakan representasi diri, sebuah simbol yang menjelaskan karakter seseorang. Gaya rambut merupakan suatu bentuk kemerdekaan, umumnya sebagian besar orang menyalurkan kreatifitasnya melalui rambut mereka. Lantas bagaimana jika sarana pengungkapan jati diri tersebut dikendalikan oleh aturan?
Kriminalisasi rambut gondrong sendiri sebenarnya sudah dijadikan sebagai propaganda sejak Orde Baru. Sterotipe mengenai rambut sendiri juga sudah mendarah daging sejak dulu. Persepsi mengenai rambut gondrong yang selalu diikuti konotasi negatif, terkadang tidak bisa dipahami secara logis. Rambut tidak bisa menilai kadar moralitas, gondrong juga bukanlah suatu kemerosotan atau degradasi moral.
Perdebatan mengenai pro-kontra peraturan rambut gondrong yang 'dilarang' saat ujian ini, sebenarnya merupakan masalah krusial yang jawabannya akan selalu subjektif. Akan ada berbagi.
*sumber Hadist: https://konsultasisyariah.com/1926-rasulullah-memanjangkan-rambut-benarkah.html
Comments