top of page

Kapitalisasi Air Mata dalam Bingkai Media

  • Gambar penulis: Himakom Upnvjatim
    Himakom Upnvjatim
  • 15 Apr 2018
  • 2 menit membaca



Program reality show yang ditayangkan oleh media saat ini sudah menjadi konsumsi sehari-hari publik. Hampir pada tiap stasiun televisi swasta menayangkan reality show mulai dari yang ber genre dramatis, kriminal, horor, hingga kemiskinan. Program-program tersebut terkemas secara apik dan modern untuk memenuhi target pasar. Dari sini kita mengetahui bahwa tontonan seperti inilah yang laris manis ditonton oleh masyarakat kita. Berbau-bau drama yang sangat terlihat setting-an nya.

Contoh yang akan dibahas kali ini yaitu mengenai program reality show di stasiun televisi swasta Indosiar yang dikemas dalam bentuk game show yaitu ā€œMikrofon Pelunas Hutangā€. Acara yang dipandu oleh beberapa host yaitu Oky Lukman, Choky Sitohang dan beberapa host lain ini cukup menyita perhatian pemirsa. Tujuan acara ini untuk memberikan bantuan dana bagi orang-orang miskin untuk melunasi hutangnya. Secara teknis acara ini terlihat simple karena kontestan hanya disuruh untuk bernyanyi namun ini juga bukan acara adu bakat. Juri tidak pernah mengomentari suara atau teknik bernyanyi yang benar pada kontestan-kontestan yang hadir mengikuti acara tersebut. Anehnya lagi dewan juri tak pernah menyebut secara terang-terangan mengapa kontestan lolos ke babak selanjutnya ketika mereka disuruh untuk memilih salah satu kontestan untuk diloloskan.

Komentar yang diberikan oleh dewan juri hanya berkutat pada penderitaan dan kesengsaraan para kontestan bahwa mereka harus bersabar dan berjuang dalam mengikuti acara tersebut. Disini dapat diketahui bahwa lolos tidaknya kontestan ke babak selanjutnya ditandai dengan kisah hidup mereka dan lagi-lagi bukan karena teknik dan kemampuan mereka bernyanyi. Atau dengan kata lain kontestan yang kisah hidupnya paling menderitalah yang akan lolos ke babak selanjutnya.

Acara ini berhasil memeras rasa iba penonton sekaligus presenter dan dewan juri yang ada di studio untuk memberikan sumbangan pada kontestan. Tiap episodenya presenter selalu bilang bahwa kontestan sedang berjuang dalam acara tersebut. Namun yang tidak mereka katakan adalah kontestan berjuang dengan saling bersaing siapa yang paling menderita dan mampu meluluhkan hati dewan juri dengan mengkampanyekan kisah hidupnya yang sangat menderita dan menjadi objek rasa iba bagi penonton.

Para kontestan akan beruntung dan melunasi seluruh hutangnya jika mereka berhasil dalam membaca mikrofon mana yang akan mereka pilih saat akhir acara. Bahkan lewat kisah hidup yang mereka kampanyekan tadi dapat menarik rasa iba penonton atau orang lain untuk bersedekah. Padahal pendapatan iklan per episode jika dihitung dengan seksama ternyata sangat besar dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan melunasi hutang kontestan yang selama ini hanya berkutat di angka 5-30 juta-an. Per episode bisa saja pendapatan iklan yang didapat di acara tersebut mencapai angka ratusan juta rupiah.

Eksploitasi kemiskinan dalam acara ini dikemas sangat apik dan menarik untuk ditonton berbagai kalangan masyarakat. Namun satu hal yang perlu kita ingat bahwa acara ini tidak memiliki intensi lebih untuk mengentaskan kemiskinan yang sudah terstruktur di negeri ini ataupun untuk memberdayakan masyarakat. Justru tayangan-tayangan seperti ini selalu mengandaikan situasi kemiskinan selalu ada di negeri ini. Nah gimana commercs menurut kalian dalam menanggapi reality show yang sedang booming di media saat ini ? Perlukah program seperti itu berkembang subur dalam media kita?

Comments


© 2018 by HARU SESULIH HIMAKOM

bottom of page